Asslamualaikum,
saat ini saya akan memberi informasi tentang dihir dalam pandangan islam. semoga bermanfaat untuk kita semua.:)
Dunia sihir dan perdukunan telah tersebar di tengah-tengah
masyarakat, mulai dari masyarakat desa hingga menjamah ke daerah kota.
Mulai dari sihir pelet, santet, dan “aji-aji” lainnya. Berbagai komentar dan cara pandang pun mulai bermunculan terkait masalah tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya.
Sebagai seorang muslim, tidaklah kita memandang sesuatu melainkan
dengan kaca mata syariat, terlebih dalam perkara-perkara ghaib, seperti sihir dan yang semisalnya. Marilah kita melihat bagaimanakah syariat Islam yang mulia ini memandang dunia sihir dan ‘antek-antek’-nya.
Makna Sihir
Sihir dalam bahasa Arab tersusun dari huruf ر, ح, س (siin, kha, dan ra), yang secara bahasa bermakna segala sesuatu yang sebabnya nampak samar. Oleh karenanya kita mengenal istilah ‘waktu sahur’ yang memiliki akar kata yang sama, yaitu siin, kha dan ra, yang artinya waktu ketika segala sesuatu nampak samar dan “remang-remang”.
Seorang pakar bahasa, Al Azhari mengatakan, “Akar kata sihir
maknanya adalah memalingkan sesuatu dari hakikatnya. Maka ketika ada
seorang menampakkan keburukan dengan tampilan kebaikan dan menampilkan
sesuatu dalam tampilan yang tidak senyatanya maka dikatakan dia telah
menyihir sesuatu”.
Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam memaknai kata
‘sihir’ secara istilah. Sebagian ulama mengatakan bahwa sihir adalah
benar-benar terjadi ‘riil’, dan memiliki hakikat. Artinya, sihir memiliki pengaruh yang benar-benar terjadi dan dirasakan oleh orang yang terkena sihir. Ibnul Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sihir adalah jampi atau mantra yang memberikan pengaruh baik secara zhohir
maupun batin, semisal membuat orang lain menjadi sakit, atau bahkan
membunuhnya, memisahkan pasangan suami istri, atau membuat istri orang
lain mencintai dirinya (pelet-pent)”.
Namun ada ulama lain yang menjelaskan bahwa sihir
hanyalah pengelabuan dan tipuan mata semata, tanpa ada hakikatnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr Ar Rozi, “(Sihir) adalah segala
sesuatu yang sebabnya samar dan bersifat mengalabui, tanpa adanya
hakikat, dan terjadi sebagaimana muslihat dan tipu daya semata.”
Sebenarnya Adakah Sihir Itu?
Sebagaimana yang disinggung di depan, bahwa terdapat persilangan
pendapat tentang kebenaran hakikat sihir. ‘Apakah sihir hakiki?’,
‘Apakah orang yang terkena sihir, benar-benar merasakan pengaruhnya?’,
‘Atau kah sihir hanya sebatas tipuan mata dan tipu muslihat semata?’
Abu Abdillah Ar Rozi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan “Kelompok Mu’tazilah (kelompok sesat-pent)
mengingkari adanya sihir dalam aqidah mereka. Bahkan mereka tidak
segan-segan mengkafirkan orang yang meyakini kebenaran sihir. Adapun
ahli sunnah wal jama’ah, meyakini bahwa mungkin saja ada orang yang bisa
terbang di angkasa, bisa merubah manusia menjadi keledai, atau
sebaliknya. Akan tetapi meskipun demikian ahli sunnah meyakini bahwa
segala kejadian tersebut atas izin dan taqdir dari Allah ta’ala”. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka itu (para tukang sihir) tidak akan memberikan bahaya kepada seorang pun melainkan dengan izin dari Allah” (QS. Al Baqarah : 102)
Al Qurthubi rahimahullahu mengatakan, “Menurut ahli
sunnah wal jama’ah, sihir itu memang ada dan memiliki hakikat, dan
Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya, keyakinan
yang demikian ini berbeda dengan keyakinan kelompok Mu’tazilah.”
Inilah keyakinan yang benar, insya Allah. Banyak sekali kejadian, baik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
atau pun masa-masa setelahnya yang menunjukkan secara kasat mata bahwa
sihir memiliki hakikat dan pengaruh. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleh Lubaid bin Al A’shom Al Yahudi hingga beliau jatuh sakit? Kemudian karenanya Allah ta’ala menurunkan surat al Falaq dan surat An Naas (al mu’awidaztain) sebagai obat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh terhadap orang yang terkena sihir.
Namun tidaklah dipungkiri, bahwa ada jenis-jenis sihir yang tidak
memiliki hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas pengelabuan mata, tipu
muslihat, “sulapan”, dan yang lainnya. Jenis-jenis sihir yang demikian
inilah yang dimaksudkan oleh perkataan beberapa ulama yang mengatakan
bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat, Allahu A’laam.
Hukum “Main-Main” dengan Sihir
Sihir termasuk dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jauhilah dari kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Apakah tujuh perkara tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “[1]menyekutukan Allah, [2]sihir,
[3]membunuh seorang yang Allah haramkan untuk dibunuh, kecuali dengan
alasan yang dibenarkan syariat, [4]mengkonsumsi riba, [5]memakan harta
anak yatim, [6]kabur ketika di medan perang, dan [7]menuduh perempuan
baik-baik dengan tuduhan zina” (HR. Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
Kafirkah Tukang Sihir?
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi para syaitan lah yang kafir,
mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (Al Baqarah : 102)
Imam Adz Dzahabi rahimahullah berdalil dengan ayat di atas
untuk menegaskan bahwa orang yang mempraktekkan ilmu sihir, maka dia
telah kafir. Karena tidaklah para syaitan mengajarkan sihir kepada
manusia melainkan dengan tujuan agar manusia menyekutukan Allah ta’ala.
Syaikh As Sa’diy rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu sihir dapat dikategorikan sebagai kesyirikan dari dua sisi.
[Pertama] orang
yang mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang meminta bantuan kepada
para syaitan dari kalangan jin untuk melancarkan aksinya, dan betapa
banyak orang yang terikat kontrak perjanjian dengan para syaitan
tersebut akhirnya menyandarkan hati kepada mereka, mencintai mereka,
ber-taqarrub kepada mereka, atau bahkan sampai rela memenuhi keinginan-keinginan mereka.
[Kedua] orang
yang mempelajari dan mempraktekkan ilmu sihir adalah orang yang
mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib. Dia telah berbuat kesyirikan
kepada Allah dalam pengakuannya tersebut (syirik dalam rububiyah Allah), karena tidak ada yang mengetahui perkara ghaib melainkan hanya Allah ta’ala semata.
Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah merinci bahwa orang yang
mempraktekkan sihir, bisa jadi orang tersebut kafir, keluar dari Islam,
dan bisa jadi orang tersebut tidak kafir meskipun dengan perbuatannya
tersebut dia telah melakukan dosa besar.
[Pertama] Tukang sihir yang
mempraktekkan sihir dengan memperkerjakan tentara-tentara syaitan, yang
pada akhirnya orang tersebut bergantung kepada syaitan, ber-taqarrub kepada mereka atau bahkan sampai menyembah mereka. Maka yang demikian tidak diragukan tentang kafirnya perbuatan semacam ini.
[Kedua] Adapun
orang yang mempraktekkan sihir tanpa bantuan syaitan, melainkan dengan
obat-obatan berupa tanaman ataupun zat kimia, maka sihir yang semacam
ini tidak dikategorikan sebagai kekafiran.
Hukuman Bagi Tukang Sihir
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah suatu ketika, di
akhir kekhalifahan beliau, mengirimkan surat kepada para gubernur,
sebagaimana yang dikatakan oleh Bajalah bin ‘Abadah radhiyallahu ‘anhu, “Umar
bin Khattab menulis surat (yang berbunyi): ‘Hendaklah kalian (para
pemerintah gubernur) membunuh para tukang sihir, baik laki-laki ataupun
perempuan’”.
Dalam kisah Umar radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan pelajaran bagi kita, bahwa hukuman bagi tukang sihir dan ‘antek-antek’-nya adalah hukuman mati. Terlebih lagi terdapat sebuah riwayat, meskipun riwayat tersebut diperselisihkan oleh para ulama tentang status ke-shahihan-nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal dengan pedang”
Dalam kisah Umar di atas pun juga memberikan pelajaran penting bagi
kita, bahwa menjadi kewajiban pemerintah tatkala melihat benih-benih
kekufuran, hendaklah pemerintah menjadi barisan nomor satu dalam
memerangi kekufuran tersebut dan memperingatkan masyarakat tentang
bahayanya kekufuran tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin
Khattab radhiyallahu ‘anhu. Allahu A’laam.
Bolehkah Mengobati Sihir dengan Sihir?
Inilah yang mungkin menjadi kerancuan di benak masyarakat, yang
kemudian kerancuan ini menjadikan mereka membolehkan belajar sihir,
karena alasan “keadaan darurat”. Terlebih lagi tatkala sihir
yang digunakan untuk mengobati sihir terkadang terbukti manjur dan
mujarab. Bukankah segala sesuatu yang haram pada saat keadaan darurat,
akan menjadi mubah? Bukankah ketika di tengah hutan, tidak ada bahan
makan, bangkai pun menjadi boleh kita makan?
Saudaraku, memang syariat membolehkan perkara yang haram tatkala
keadaan darurat, sampai-sampai para ulama membuat sebuah kaidah
fiqhiyah, “Keadaan yang darurat dapat merubah hukum larangan menjadi mubah”
Namun kita pelu cermati bahwa para ulama pun juga memberikan catatan
kaki terhadap kaidah yang agung ini. Terdapat sedikitnya dua syarat yang
harus dipenuhi untuk mengamalkan kaidah ini.
[Pertama] Tidak ada obat lain yang
dapat menyembuhkan sihir, selain dengan sihir yang semisal. Pada
kenyataannya tidaklah terpenuhi syarat pertama ini. Syariat telah
memberikan obat dan jalan keluar yang lebih syar’i untuk menangkal dan
mengobati gangguan sihir. Bukankah syari’at telah menjadikan Al Quran
sebagai obat, lah ada dan teruqyah-ruqyah syar’i yang telah diajarkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Kedua] Sihir yang digunakan harus terbukti secara
pasti dapat menyembuhkan dan menghilangkan sihir. Dan setiap dari kita
tidaklah ada yang dapat memastikan hal ini, karena semua hal tersebut
adalah perkara yang ghaib.
Maka dengan ini jelaslah bahwa mempelajari sihir, apapun alasannya adalah terlarang, bahkan diancam dengan kekufuran, Allah ta’ala telah tegaskan di dalam firmannya (yang artinya), ”Dan tukang sihir itu tidaklah menang, dari mana pun datangnya.” (QS. Ath Thaahaa: 69). Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Ayat
ini mencakup umum, segala macam kemenangan dan keberuntungan akan
ditiadakan dari para tukang sihir, terlebih lagi Allah tekankan dengan
firman-Nya, ‘dari mana pun datangnya’. Dan secara umum, tidaklah Allah meniadakan kemenangan dari seseorang, melainkan dari orang kafir.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar